15 Feb 2020

Karakter Bela Negara Harus Dimiliki Oleh Setiap Anak Bangsa

Karakter bela negara yang kuat merupakan bekal yang harus dimiliki oleh setiap anak bangsa, terutama pemuda Indonesia agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang melemahkan nasionalismenya. Karena tidak sedikit para pemuda yang mengikuti paham-paham radikal. Keberadaan paham-paham radikal di Indonesia sudah selayaknya patut dicurigai dan dicegah penyebarannya.

Dalam penyebaran paham radikal, beberapa metode digunakan untuk meyakinkan target,  diantaranya adalah proxy war, perang yang menggunakan pihak ketiga yang merupakan pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Metode yang lain adalah brain washing, dengan cara mengubah ideologi, paradigma, perilaku, kebiasaan dan budaya melalui infiltrasi, provokasi dan  separatis. Ideologi Pancasila sering dibenturkan dengan agama ataupun dengan kitab suci.

Pernyataan itu disampaikan Prof. Dr. Ir. Bondan Tiara Sofyan, M.Si, Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter, Sabtu, 15 Februari 2020 di Aula Gedung 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (FEB UNS).

Sekitar 400 peserta penuhi Aula di acara Pembinaan Karakter

Dikatakannya, sumber-sumber radikalisme masuk melalui agama dan kampus menjadi ladang yang sangat “empuk” bagi tersebarnya radikalisme.

“Karena penduduk di Indonesia adalah mayoritas muslim, penyebaran paham ini masuknya banyak melalui Agama Islam, bukan berarti paham ini tidak ada dalam agama lain” tegasnya

Prof. Bondan mengajak agar kita saling berpegangan tangan, jangan mau dibenturkan antar bangsa sendiri. Perkuat kesadaran untuk bela negara, dengan membangun kecintaan pada tanah air, pahami sejarah bangsa, mengenali tanah air dan menggunakan produk dalam negeri.

Kesadaran berbangsa dan bernegara juga perlu ditanamkan dengan menghindari hoax , utamakan dialog bersama, dan jadikan diri kita berjiwa rela berkorban untuk kemanusiaan dan keutuhan bangsa.

Sementara itu, M. Farid Sunarto, S.Pd.,M.Si., Ketua Solo Bersimfoni mengatakan milenial sekarang rata-rata memiliki penyakit akut seperti tuna budaya / local cultural values, tuna konservasi dan persepsi budaya beroposisi dengan modernitas.

Pemerintah Kota Solo pada khususnya sudah berupaya untuk mengurangi penyakit itu, salah satunya dengan membuat Peraturan Walikota Surakarta Nomor 49 tahun 2019 tentang Penyadaran, Pemberdayaan dan Pengembangan Pemuda.

Dikatakannya pula, milenial sejati dapat menjadi influencer bagi teman sejawat yang lain. Agar tidak terjadi hal yang negatif, seorang influencer harus memiliki karakter kuat yang positif. Menjadi seorang influencer yang “ saleh” berarti memiliki tujuan utama untuk mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, perilaku, dan attitude.

Pembicara ketiga dalam seminar , Dr. Izza Mafruhah, S.E.,M.Si, Wakil Dekan Bidang Akademik FEB UNS memandang pendidikan karakter merupakan proses belajar secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan menguasai IPTEK saja tidak cukup menjadikan seorang pelajar menjadi manusia. Kemampuan sosialisasi dan religiusitas sebagai bagian IMTAQ yang baik adalah pelengkap yang menyempurnakan seorang pelajar. Berpendidikan karakter berarti seseorang tidak hanya memiliki intelektual yang baik, tapi juga memiliki emosi serta tingkat spiritual yang baik.

Dr. Izza mengajak kepada peserta  seminar yang sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa untuk pandai-pandai dalam mencari guru.

“Banyak informasi atau pengetahuan yang mudah didapat melalui google, tinggal ketik kata kuncinya, ribuan informasi tentang yang kita inginkan akan didapat, tapi pandailah menyaring, lihat sumbernya, hingga dapat memilah mana yang baik dan tidak” nasihatnya

Prof. Djoko Suhardjanto saat memberikan sambutan di Acara Pendidikan Karakter

Melalui seminar yang diikuti oleh hampir 400 orang itu, Dekan FEB UNS , Prof. Djoko Suhardjanto mengharapkan dengan kegiatan ini, para narasumber mampu membekali pengetahuan, pemahaman bagi generasi muda tentang pentingnya kesadaran bela negara sehingga terhindar dari paham-paham radikal yang sangat merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. (Humas)

 

Editor:  Drs. BRM. Bambang Irawan, M.Si.