25 Jun 2020

Peran Pemerintah Atasi Pandemi Covid-19

Pakar Ekonomi,  Nurul Istiqomah, SE, M.Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (FEB UNS) berpendapat bawah krisis yang terjadi pada tahun 2020 ini adalah krisis kesehatan publik serta humanitarian terbesar, dimana tidak saja menimbulkan kedaruratan kesehatan melainkan juga memberikan kerugian secara ekonomi yang cukup besar.

Hampir semua sektor terkena imbasnya, dan sektor yang paling berat terkena pandemi Covid-19 adalah sektor pariwisata karena terhentinya usaha disebabkan social distancing. Sektor tersebut diprediksikan baru pulih pada tahun 2022. Sedangkan di sektor keuangan, terdapat ancaman ketidakmampuan dunia usaha untuk melakukan pembayaran pinjaman.

Oleh karena itu, OJK melakukan monitoring terhadap sektor produktif yang paling terkena dampak dari Covid-19. Walaupun komposisi pembiayaan terhadap sektor produktif hanya berkisar 28-30 %, sedangkan pembiayaan konsumtif berkisar 70-72% tetapi sektor tersebut yang memberikan efek multiplier yang lebih banyak ke perekonomian dibandingkan pembiayaan konsumtif.

Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh OJK yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian adalah dengan Relaksasi Kredit untuk menekan resiko kredit macet perbankan, sehingga perbankan tidak perlu menambah Non Performing Loan (NPL) guna menambah cadangan kerugian akibat kredit macet.

Hal ini dilakukan untuk menambah daya tahan dari dunia usaha dalam menghadapi Covid-19. Permintaan agregat yang menurun dari masyarakat, karena adanya ketidakpastian mengenai kondisi yang akan datang menyebabkan masyarakat melakukan langkah aman dengan mengurangi permintaan akan barang di lini sekunder dan tersier. Konsumsi yang tetap dilakukan oleh masyarakat adalah pada basic need, seperti pada produk bahan makanan, sedangkan permintaan pada produk sekunder dan tersier mengalami kelesuan.

Rentetan akibat penurunan permintaan agregat dari masyarakat selain berdampak kepada kedua sektor tersebut, ternyata juga berdampak ke sektor lainnya seperti sektor transportasi dan otomotif karena penurunan mobilitas manusia, sektor pertambangan karena adanya kelebihan produksi, sektor konstruksi disebabkan adanya potensi kenaikan pembangunan serta sektor UMKM.

Pada krisis ekonomi tahun 1998, UMKM bertindak sebagai penyelamat perekonomian Indonesia tapi pada krisis kesehatan publik sekarang ini justru UMKM yang menderita paling berat. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh CORE Indonesia (Center of Reform on Economics) mengatakan bahwa masyarakat golongan rentan dan hampir miskin yang mempunyai potensi kehilangan pekerjaan yang paling besar karena umumnya mereka bekerja pada sektor informal, serta banyak usaha yang harus ditutup sementara karena adanya kebijakan PSBB.

Ketika permintaan agregat masyarakat mengalami penurunan maka gelombang PHK pun mulai melanda Indonesia. Berdasarkan data (Mei 2020) dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, terdapat 6 juta tenaga kerja yang terkena dampak dan 90 % dalam status dirumahkan sedangkan sisanya di PHK. Angka tersebut baru bisa dilacak dari sektor formal saja, sedangkan di sektor informal terdapat 314.883 orang (CNN Indonesia). Jika jumlah pengangguran bertambah, maka bisa dipastikan bahwa daya beli masyarakat mengalami penurunan dan berakibat terhadap tingkat inflasi. Berdasarkan catatan dari BPS menyatakan bahwa inflasi Indonesia pada bulan April 2020 mencapai titik terendah yaitu sebesar 0,08 %. Ini merupakan penggambaran anomali yang terjadi di Indonesia ketika menjelang lebaran, dimana inflasi biasanya mengalami peningkatan karena adanya peningkatan permintaan barang dan jasa.

Disisi lain, ketika daya beli masyarakat menurun karena adanya PHK serta penerapan PSBB, konsumsi aoutonomus yang dikeluarkan masyarakat tetap ada, bahkan kewajiban pembayaran yang bersifat wajib tetap harus dilakukan masyarakat. Ini menimbulkan gejolak dalam masyarakat, diantaranya adalah peningkatan tingkat kriminalitas, karena ketika perut butuh sesuatu untuk dimakan sedangkan uang yang ada dalam genggaman mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak ada pemasukan, maka hal tersebut merupakan salah satu pemicu munculnya angka kriminalitas yang tinggi.

 “Negara Harus Hadir” dilakukan dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan pemerintah karena merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kepada masyarakat.

Beberapa program yang dilakukan tersebut adalah bantuan sosial, percepatan pelaksanaan Kartu Prakerja serta pemotongan tagihan listrik. Berdasarkan pernyataan Imaduddin Abdullah (pengamat ekonomi Indef) menyatakan bahwa negara-negara yang berhasil mengatasi dampak Covid-19 melakukan stimulus fiskal disektor kesehatan, pengurangan dampak negatif dari Covid-19 serta bantuan bisnis yang diberikan pasca pandemik.

Stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi Pandemi Covid-19 adalah sebesar Rp. 405,1 triliun yang akan diberikan kepada sektor kesehatan sebesar Rp. 75 triliun untuk pembelian alat kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan, peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan.

 Sedangkan untuk perlindungan sosial sebesar Rp. 110 triliun yang digunakan bagi 10 juta penduduk penerima PKH, 20 juta penerima kartu sembako, 5,6 juta penerima kartu pra kerja, serta insentif cicilan KPR untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) serta diskon tarif listrik bersubsidi. Stimulus pemerintah dalam intensif pajak dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp. 75,1 triliun serta untuk pemulihan ekonomi sebesar 150 triliun yang bertujuan untuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya UMKM. (Humas FEB).

Editor: Drs. BRM. Bambang Irawan, M.Si.

Sumber: Nurul Istiqomah, SE, M.Si.