20 Apr 2024

Dua Narasumber Kuliah Umum FEB UNS Bahas Prospek dan Tantangan Pengembangan Industri Halal di Indonesia

Industri halal bukanlah industri yang baru tapi suatu industri yang sudah ada sebelumnya yang direbranding menjadi halal,  menjadi brand yang lebih baik. Beberapa kawasan industri di Indonesia telah menerapkan konsep eco industrial park sebagai salah satu kriteria permohonan.  Kawasan industri halal juga telah mengimplementasikan kesesuaian proses halal pada alur produksinya.

Hal itu disampaikan Junadi Marki, ST, MT, Kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal Kementerian Perindustrian pada Kuliah Umum “Industri Halal di Indonesia: Prospek dan Tantangan Pengembangan” yang diselenggarakan secara hybrid di Aula Konimex FEB UNS & Zoom Meeting, Senin 6 Desember 2021.

Selanjutnya dijelaskan sebaran industri halal nasional. Untuk Industri Mikro dan Kecil (IMK) pada tahun 2019 sebanyak 2,31 juta (52,8%). Proporsi terbesar dikontribusikan oleh IMK sektor makanan dan minuman yaitu sebanyak 1,68 juta unit usaha  (38,4%).

Sedangkan untuk Industri Besar dan Sedang (IBS) Halal sebanyak 11.182 unit usaha (35,6%) di tahun 2019. Proporsi terbanyak berada pada industri makanan dan minuman sebanyak 7.712 IBS (24,6 %). Sebaran wilayah unit usaha terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Maluku Utara.

Junadi Marki, ST, MT, Kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal Kementerian Perindustrian

Untuk menjamin kehalalan sebuah produk, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

“Sejak tahun 2014 itulah, kehalalan sebuah produk yang awalnya sukarela menjadi wajib. Halalnya sebuah produk diambil alih oleh negara,  di bawah Kementerian Agama, tepatnya pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).  Dalam perkembangannya, halal menjadi suatu program yang menjadi prioritas dan perhatian negara” ungkapnya.

BPJPH dalam menjalankan kewajiban sertifikasi halal menerapkan kebijakan penahapan. Produk makanan dan minuman merupakan produk yang pertama dikenai kewajiban bersertifikat halal.

Mulai dari rentang waktu pembinaan 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2024, semua produk minuman dan makanan wajib mendapatkan sertifikasi halal. Obat-obatan,  kosmetik  dan barang gunaan, hingga 17 Oktober 2026 harus sudah tersertifikasi halal. Barang gunaan adalah barang yang berasal dari dan/atau mengandung unsur hewan. Sedangkan bagi produk yang tidak halal harus diregistrasi sebagai barang yang tidak halal agar konsumen mendapatkan kepastian.

Sementara itu, narasumber kedua, Dr. Falikhatun, SE, M.Si, Ak, Dosen FEB UNS menyoroti industri halal di sektor pariwisata. Di awal paparannya, Falikhatun menekankan pentingnya visi industri halal yang hingga saat ini belum dimiliki oleh Indonesia.  Beberapa negara lain telah memiliki visi, di antaranya: Thailand dengan visinya menjadi “Dapur Halal Dunia”, Jepang dengan visi “Industri Halal sebagai Kontributor Kunci di 2020”, Korea menjadi “Destinasi Utama Pariwisata Halal” dan beberapa visi negara lainnya.

 “Visi halal ini seharusnya ada dan bisa dijadikan acuan dalam menjalankan program-program ke depannya, terlebih lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dr. Falikhatun dalam paparannya juga menyampaikan tentang definisi pariwisata halal (Islamic Tourism), yang memudahkan pemahaman masyarakat dalam mengoperasionalkan definisi tersebut. Definisi ini muncul karena belum ada definisi tentang pariwisata halal yang lebih komprehenshif pada literatur sebelumnya dan mengakomodir secara langsung apa saja yang terkait dengan  sektor-sektor pariwisata halal.

Pariwisata halal menurutnya adalah aktifitas perjalanan yang menggunakan transportasi, konsumsi dan akomodasi menuju destinasi wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kemuliaan kita di hadapan Allah SWT.

Jadi, ada empat kategori yang perlu dikaitkan dengan pariwisata halal yakni transportasi, konsumsi, akomodasi dan destinasi wisata, dan keempatkan harus terintegrasi dalam pelaksanaannya.

“Industri pariwisata halal memiliki banyak peluang karena secara riil masyarakat Muslim Indonesia sudah menggunakan halalan thayyiban sebagai bagian dari lifestyle. Halalan thayyiban sudah menjadi DNA-nya Muslim Indonesia termasuk dalam hal berpakaian. Indonesia juga merupakan big market Muslim” jelasnya.

Selain peluang itu, ada beberapa tantangan, terlebih di masa pandemi, yakni berkurangnya daya beli masyarakat terutama pada masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya cukup besar.

Tantangan lainnya, belum banyak regulasi-regulasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pariwisata halal, utamanya dalam hal transportasi, konsumsi terkait dengan makanan dan minuman halal yang sudah tersertifikasi, akomodasi (hotel dan penginapan yang tersertifikasi halal) dan destinasi wisata yang memenuhi persyaratan Fatwa DSN MUI nomor 108 tahun 2016. Dengan demikian perlu adanya dukungan pemerintah yang lebih banyak dan kuat lagi, selain Fatwa MUI untuk mengikat pengusaha di bidang pariwisata halal.  (Humas FEB)