07 Jul 2020

Defisit Energi Akan Terjadi Jika Tak Segera Ambil Langkah Cepat Transisi Energi

Akibat pandemi Covid-19, mulai tahun 2021, Indonesia diperkirakan mengalami defisit energi dan ini kali pertama sepanjang sejarah. Dengan keadaan ini, jika tidak segera melakukan langkah-langkah darurat dari sekarang, maka di tahun 2040 defisit energi Indonesia mencapai 80 miliar USD.

Ada upaya untuk mengurangi tekanan defisit energi dengan mengintrodusir biodiesel. Disetiap liter bensin atau solar, 30%-nya dicampur dengan minyak sawit yang diolah. Namun, hal ini menimbukan masalah baru, subsidi BBM turun, tapi ada subsidi lain yang sangat besar bagi pengelolaan sawit. Diprediksi tahun 2025 terjadi defisit sawit, sehingga dibutuhkan 5 hingga 9 juta hektar lahan sawit baru, hal ini bisa merusak hutan. Ongkos untuk energi ini akan sangat mahal.

Pernyataan ini disampaikan Faisal Basri, SE, MA, Ekonom Indonesia pada Webinar Seri Diskusi Kebangsaan bertema Defisit Energi di Era Pandemi yang digelar Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret, Senin, 6 Juli 2020.

Kepada peserta webinar yang sebagian besar adalah dosen dan mahasiswa, Faisal Basri menyarankan agar bisa menggunakan energi yang ramah lingkungan dan juga secara teknis lebih murah.

Lebih lanjut disampaikan, masa pandemi ini menjadi momen bagi generasi muda, generasi milineal untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Generasi muda memiliki hak mendapatkan lingkungan yang baik di masa kini dan mendatang.

Sementara itu, Hery Sulistyo Jati N, S, S.E., MSE., Dosen FEB UNS mengatakan menurut data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) defisit listrik akan terjadi sekitar tahun 2022 dan 2023 jika tidak ada komitmen baru dalam jangka dekat dan tidak ada upaya dalam mendorong Energi Baru Terbarukan (EBT).

Hery Sulistyo Jati N, S, S.E., MSE

Dengan pandemi ini, energi terbesar yang digunakan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah listrik. Hal ini akan mendorong defisit yang lebih cepat jika tidak ada komitmen baru dalam pembangkitan energi. Di struktur pasar energi kita, meskipun harga energi primer jatuh kita tetap membayar sesuai harga yang ditetapkan (administered price), industri pun tetap membayar pada harga minimum untuk listrik.

”Saat ini, transisi energi kita menghadapi tantangan besar. Dalam RUPTL, kita sudah merancang transisi energi dan harapannya di tahun 2022 atau 2023 kita akan punya investasi-investasi baru yang berkaitan dengan energi baru terbarukan sebagai bagian dari komitmen kita terhadap transisi energi. Apapun kondisinya, saat ini upaya untuk investasi EBT rasanya sangat berat, disatu sisi kita sudah mulai stop menggunakan energi fosil karena memang dalam perencananaannya kita sudah mengarah kepada transisi energi” jelas Hery.

Sasaran pengelolaan dalam tatanan ke depan, kita butuh ketahanan energi, utamanya energi listrik karena landscape-nya berubah, sebagian besar orang kembali ke rumah. Aktivitas akan dilakukan dari rumah seperti bekerja, sekolah dan kuliah dari rumah. Dalam tatanan normal baru, energi listrik memiliki kontribusi signifikan dan mulai menggeser peran BBM khususnya pada rumah tangga.

Tantangan energi kita adalah disinsentif terhadap pengembangan EBT, yang dulu investasinya mahal dan akan disubsidi pemerintah, sekarang pemerintah tidak akan fokus ke arah itu karena harus mengalokasikan sebagian besar dana untuk penanganan pandemi ini. Meskipun demikian, disatu sisi kita juga punya target pencapaian penurunan emisi, semuanya mengarahkan kita kepada transisi energi. (Humas FEB).

Editor: Drs. BRM. Bambang Irawan,  M.Si.